Jumat, 18 Juni 2010

Penyebab dan Dampak Rusaknya Hutan

Sudah sangat sering diungkapkan keluhan masyarakat secara nasional maupun internasional tentang kebakaran hutan yang berdampak negatif bagi kesehatan manusia dan mengganggu kegiatan sehari-hari terutama bidang transportasi baik darat, laut maupun udara. Agar hal ini tidak terulang lagi sebagaimana terjadi di penghujung tahun 90-an jika musim kemarau selalu saja terjadi kebakaran hutan yang menimbulkan asap tebal. Kondisi udara, awan dan atmosfer yang ditutupi asap seperti pulau Kalimantan dan Sumatera yang cukup luas terkadang menembus ke wilayah tetangga seperti Malaysia, Brunei dan Singapura. Hutan Indonesia sebagai produsen asap sering mendapat protes tidak hanya dari negeri jiran bahkan dunia internasional. Sebagai bangsa beradab dan berbudaya kita seharusnya menyikapi hal ini dengan serius tidak hanya mengekploitasi tetapi juga serius mengelola dan memanfaatkan agar hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia dapat lestari.

Penguasa di masa lalu hanya menitikberatkan penyebab kerusakan dan kebakaran hutan kepada masyarakat seperti peladang berpindah, penebang liar atau perambah hutan dan perkebunan. Namun dampak kerusakan lingkungan yang lebih dahsyat dari penebangan pengusaha HPH sama sekali nyaris tak terdengar. Selalu saja yang menjadi kambing hitam adalah masyarakat miskin, peladang berpindah atau penebang liar. IMPAS-B merasa berkewajiban menyampaikan suara-suara dari sisi pedalaman karena mereka secara langsung adalah keluarga atau anak cucu peladang berpindah.

Tuduhan tersebut adalah sangat tidak adil, masyarakat keberatan jika kebakaran hutan adalah akibat kebodohan dan ketidakmauan masyarakat mengikuti petunjuk pemerintah seperti pelarangan penebangan hutan dan berladang berpindah, karena pekerjaan itu telah beratus ratus tahun sudah ada tetapi mengapa baru sekarang timbul dampaknya dan menjadi permasalahan. Tanpa bermaksud apapun tulisan ini berdasarkan penelitian dan pengalaman tentang apa yang IMPAS-B lihat dan IMPAS-B rasakan. Sejak tahun 2005 IMPAS-B telah menapakkan kaki di belantara terutama di wilayah Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan tepatnya di perbukitan sekitar Paramasan, sungai pinang sampai daerah Riam Kanan dengan kekayaan ”Hutan Tropis Kahung”

Penyebab Rusaknya Hutan di Kasel

Ladang Berpindah

Sebagaimana kita maklumi di daerah Kalimantan Selatan kualitas sumberdaya lahan dan tanah untuk pertanian di perbukitan sangat kurang, sehingga apabila sudah ditanami dua sampai tiga kali terulang lahan tersebut tidak potensial lagi, ditambah dengan teknologi pertanian yang sangat tradisional. Karena itulah masyarakat yang dipimpin Kepala Padang (Kepala Ladang) membuka hutan lagi untuk lahan pertanian baru demi kelangsungan hidup mereka.

Proses tradisional ini sudah berlangsung ratusan tahun atau semenjak manusia Kalimantan mulai berbudaya hingga sekarang ini. Sepengetahuan IMPAS-B hingga penghujung tahun 80-an tidak ada dampak negatif dari aktivitas ladang berpindah karena sewaktu pembakaran lahan masyarakat selalu siap di sekeliling tepian hutan (dalam arti jangan sampai hutan ikut terbakar).

Berladang bagi masyarakat Dayak Kalimantan (penghuni hutan) hanya sekadar untuk mencukupi keperluan pangan saja, tidak sebagai usaha komersial, dan mereka mencukupi kebutuhan lainnya dengan mengambil apa saja yang bernilai ekonomis yang ada di hutan. Peladang berpindah selalu membuka hutan baru berdasarkan perkiraan musim atau iklim. Menurut pengamatan dan berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab masyarakat Dayak Kalimantan yang menghuni hutan, berladang bagi mereka adalah keharusan alami.

Bekas ladang di tepian hutan yang ditumbuhi rumput dan tanaman muda merupakan lahan santapan yang sangat diperlukan marga satwa penghuni rimba raya sehingga menjadikan kawasan ini sebagai ekosistem yang sangat harmonis. Terlihat adanya ketergantungan antara manusia, tumbuhan dan hewan. Flora menghidupkan fauna dan fauna menebarluaskan flora.

Ladang berpindah sebenarnya tidak merusak lingkungan yang berarti walaupun ada tetapi tidak sebagai penyebab utama kerusakan hutan, karena sewaktu membakar lahan selalu dijaga dan secara emosional mereka memiliki kearifan ekologis terhadap lingkungan sebagai tempat mencari penghidupan.

Penebang Liar

Di masa orde lama istilah “penebang liar” tidak pernah dikenal khususnya di daerah Paramasan Bawah. Kalau masyarakat penghuni kawasan hutan berladang untuk mencukupi keperluan pangan beras, maka untuk keperluan hidup lainnya mereka memanfaatkan sumberdaya hutan lainnya.

Sebelum negeri ini merdeka masyarakat sudah mengenal dan memanfaatkan hasil hutan dengan menebang secara manual atau cara tradisional. Perdagangan hasil hutan berupa kayu saat itu dilakukan secara barter dalam skala lokal. Kayu sebagai bahan bangunan rumah tinggal hanya kulitnya saja yang dapat mereka ambil karena minimnya teknologi dan keterampilan mereka masa itu.

Masyarakat dengan cara manual tidak mampu mengambil kayu yang jaraknya melebihi 500 m dari anak sungai apalagi kalau sudah dibatasi bukit. Berdasarkan data yang ada sejak tahun 1980 tidak pernah terjadi dampak negatif dari aktivitas pemanfaatan hutan oleh masyarakat di hutan Kalimantan yang mengganggu lingkungan hidup baik kehidupan flora, fauna dan bagi masyarakat. Begitu pula tentang kebakaran hutan dan kabut asap hingga tahun 1980 belum pernah menyaksikan langsung atau mendengar ceritanya.

Penebangan Oleh Pemilik HPH

Sejujurnya, apa saja yang kita lakukan terhadap hutan baik ladang berpindah, perambah hutan, penebang liar, lahan perkebunan, produksi bahan bangunan seperti balok-balok ulin dan siap dan ekploitasi hutan oleh pemilik HPH kesemuanya itu akan mengganggu ekosistem dan merusak habitat hutan. Perbedaannya terletak pada besar-kecilnya kerusakan yang ditimbulkan akibat permanfaatan hutan.

Kondisi hutan pasca eksploitasi oleh pemilik HPH, di pulau Kalimantan khususnya di Kabupaten Banjar, memiliki struktur yang utuh, rapat, padat dan berpotensi besar. Hutan yang indah, cantik nan serasi ini menurut pengamatan kami memerlukan waktu ribuan tahun untuk pemantapannya.

Beberapa jenis kayu hidup bergantian hingga menjadi satu kesatuan hutan yang saling melindungi. Di dalam hutan kalau kita membaca lingkungannya secara arif seakan-akan suatu perpaduan yang harmonis, saling bantu dalam masing-masing pertumbuhannya. Kehidupan suatu jenis tumbuhan seperti telah diatur untuk membantu kelangsungan hidup yang lain.

Hutan yang masih utuh perawan sangat indah, kokoh menakjubkan. Daun, ranting dan dahan rapat menjaga sinar matahari agar tidak tembus leluasa ke bawah pohon. Kerapatan daun fungsinya sangat besar yaitu melindungi kawasan semak dan belukar di bawahnya agar dedaunan yang membusuk menjadi humus dan menyerap air sebagai persediaan air hujan jika musim kemarau tiba. Perilaku hutan ini juga merupakan upaya hutan secara alami melindungi dirinya dari bahaya kebakaran.

Hingga penghujung tahun 1960 hutan di kawasan Kabupaten Banjar masih dikategorikan kokoh padat walaupun ada eksploitasi masyarakat secara manual. Di awal tahun 1970 pemilik HPH dalam hal ini PT. KODECO mulai memasukkan alat-alat ke kawasan hutan untuk mengeksploitasi hutan. Peralatan yang handal ini dalam waktu singkat mengakibatkan hutan lumpuh berantakan, istilah hutan gundul mulai dikenal masyarakat.

Berikut ini coba kita bandingkan antara aktivitas peladang berpindah, penebang liar dan eksploitasi HPH dengan alat beratnya. Peladang berpindah hanya berlokasi sekitar pemukiman penduduk dan sekadar mencukupi keperluan hidupnya sehari-hari. Tebangan liar hanya berlokasi pada sekitar daerah aliran sungai (DAS) karena hanya mengandalkan tenaga manusia dan siklus alami. Sedangkan eksploitasi pemilik HPH dengan peralatan berat dan modern mampu menjangkau lokasi dan kawasan hutan mana saja yang mereka inginkan.

Kita tidak merinci berapa juta pohon yang sudah dibabat dan berapa meter kubik volumenya selama lebih 30 tahun. Kitapun tidak mengungkap bagaimana kejahatan KKN di instansi kehutanan, perilaku tidak bijak dalam mengelola hutan atau manipulasi data dan dokumen di mana terdapat kayu yang tidak memiliki dokumen resmi atau dokumen kayu yang volumenya 2.000 m3 bisa melindungi kayu yang volumenya 10.000 m3?.

Kekhawatiran kita terfokus pada perubahan perilaku alam jika kawasan hutan lumpuh tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena ketidakmampuan hutan yang telah dibabat untuk pulih kembali atau tidak ada upaya mengembalikan fungsi hutan dengan rehabilitasi dan reboisasi (yang sebenarnya, bukan di atas atau laporan ketika ada kunjungan pejabat pusat) saja. Jika hutan tidak mampu lagi menyimpan air, menjaga kelembabannya di musim kemarau agar tidak terbakar dan sebagai daerah penyangga luapan air di musim hujan di mana air menumpuk di kawasan hulu sungai daerah pasang surut.

Dampak Terjadinya Kerusakan Hutan di Kalsel

Hutan perawan sebagaimana di uraikan di atas dengan kerapatan utuh 100 persen maka sinar matahari tidak dapat menembus ke bawah sehingga daun-daun lapuk selalu basah walau di musim kemarau sekalipun sehingga tidak mudah dilalap api. Jika hutan itu terbuka dalam hamparan yang luas seperti pasca eksploitasi HPH, dengan kerapatan dibawah 50 persen maka akan mudah terbakar. Akibatnya dedaunan busuk dengan humus yang tebal, ranting dan dahan yang kering lekang sehingga dengan pemantik kecil saja kawasan ini segera terbakar.

Keadaan hutan yang sudah longgar, pohon-pohon besar dan kecil ditebang dan tidak ada regenerasi berdampak pada perairan terutama anak-anak sungai akan banjir besar dan menerima debit air yang melebihi kapasitas normal. Sungai yang dahulunya tidak bisa meluap dan begitu bersahabat sekarang sebaliknya, seperti banjir di Martapura, Kabupaten Banjar tahun 2006. Sedangkan di musim kemarau persediaan air sangat kurang.

Fakta di atas menunjukkan bahwa kawasan hutan bukit dan pegunungan di Kalimantan sudah kurang fungsinya sebagai penahan air agar secara perlahan-lahan mengalir ke muara sungai. Yang kita khawatirkan jika musim hujan tiba dengan curah hujan sangat tinggi yang merupakan siklus sepuluh tahunan maka air akan tertumpuk di daerah muara tepatnya di daerah Banjarmasin dan Barito Kuala. Genangan air ini bisa bertahan lama 1 sampai 2 minggu atau lebih karena arus air ke muara tertahan pasang surut sedang kiriman air dari hulu sungai martapura terus berlangsung apalagi di muara juga terjadi hujan.

Analisis ini di tahun-tahun mendatang jika benar terjadi berakibat pengungsian penduduk secara massal, karena usaha penduduk mati total di saat banjir. Lahan sawah, kebun dengan segala infrastrukturnya tergenang dalam waktu cukup lama. Kawasan rawa yang kami maksud sebagai tempat menumpuknya air kiriman dari pegunungan sebenarnya bukan hanya di selatan Kabupaten Banjar, Kota Banjarmasin dan Kabupaten Barito Kuala, tetapi akan terjadi di seluruh kawasan rawa yang diapit pegunungan Muller, Schawanner, dan pegunungan Meratus. Kawasan ini adalah kawasan persawahan pasang surut dan pemukiman penduduk.

Dampak bagi daerah selatan atau kawasan pasang surut seperti Kota Banjarmasin dan sekitarnya, air pasang akan bertambah tinggi bisa menjangkau naik ke dalam rumah penduduk dan menggenangi jalan-jalan raya. Apalagi jika kita ingat analisis seorang akademisi Unlam ketika Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalteng digulirkan yang menyatakan tunggu saja limpahan air dari hulu akan menenggelamkan dataran yang lebih rendah (dan sialnya Banjarmasin adalah kawasan rendah yang lebih dekat ke laut Jawa).


Benar atau tidaknya analisis ini seyogiyanya menyadarkan kita akan bahaya yang mengancam berupa banjir atau genangan air besar-besaran akibat dari rusaknya tatanan hutan, bukan bermaksud menakut-nakuti dengan mendramatisir masalah apalagi memprovokasi tetapi lebih pada warning bahwa penyelamatan hutan merupakan tanggung jawab kita bersama kepada Tuhan bagi anak cucu dikemudian hari.

Air sungai, utamanya Sungai Barito terlalu sering surut dan mengalami penurunan fungsi sebagai alur transportasi vital. Terganggunya fauna, terutama habitat perairan bagi ikan. Sangat susah mendapatkan beberapa species ikan di Sungai Barito bahkan di kawasan anak sungai.

Dengan sedikit curah hujan bisa mendatangkan luapan sungai-sungai kecil, kebakaran hutan dan lain-lain. Dampak negatif dari kerusakan hutan dan lingkungan yang akan kita wariskan kepada generasi penerus, anak cucu kita haruslah diantisipasi semaksimal mungkin.

Mempertimbangkan ancaman yang akan datang sebagai mana analisis kami di atas maka kami mengimbau jajaran aparat terkait dan lingkungan hidup, kehutanan, pemegang HPH, cendekiawan, kelompok akademisi, MAPALA, KPA dan LSM serta tokoh masyarakat Kalsel terutama pihak-pihak yang mencurahkan perhatiannya kepada kelestarian alam, marilah kita sama-sama berdialog, duduk bersama mencari solusi terbaik tentang tata cara mengelola sumberdaya alam ini secara baik, arif bijak dan ramah lingkungan.

Pulau Kalimantan dengan kawasan rawa pasang surut yang luas sangat rawan banjir menjadi genangan yang luas jika kawasan hulu, bukit dan pegunungan tidak mendapat perhatian serius. Save our trofical forest, save our life. Karena betul “…bahwa hutan dan aturan yang terdapat didalamnya adalah sekolah terbaik bagi manusia….”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar