Menyimpan sampah terdengar paradox sebab sampah adalah sesuatu yang biasanya kita buang. Tapi inilah yang dilakukan warga Badegan, Bantul, Yogyakarta. Mereka mengumpulkan, menyimpan lalu bahkan menabung sampahnya. Pada pukul 4 sore, warga Badegan, Bantul terlihat berkerumun di sebuah bangunan sederhana yang berukuran 8 kali 12 meter. Lantainya hanya beralas tanah, tanpa pintu dan jendela. Di tembok tak bercat itu terpampang sepanduk besar Bertuliskan Bank Sampah Gemah Ripah. Sedangkan disisi kiri kanan dinding bertempel tulisan ajakan membuang sampah dan tumpukan puluhan kantong sampah. Mereka yang berkumpul adalah nasabah bank gemah ripah. Bukan bank yang biasa kita tahu, bank “gemah ripah” tidak berlantaikan keramik, dan tidak mempunyai perangkat computer maupun petugas berseragam.
Salah satu warga Badegan, Bantul, Yogyakarta yaitu Ismiyati dan warga menunggu dalam antrian sambil ngobrol di depan meja petugas bank. Tangannya menenteng 2 kantong berisi sampah kertas dan plastik yang sudah dipilah. Ismiyati disambut Galu dan Sita,dua petugas bank yang biasa disebut teller. Lalu Ismiyati menyerahkan tabungannya. Tabungan yang diserahkan bukan dalam bentuk uang, melainkan sampah yang dibawanya. Dengan cekatan, Galuh menimbang dan melabeli tas isi sampah itu, sementara sita mencatat berat sampah dibuku tabungan . Hanya butuh 3 menit , Ismiyati sudah menerima bukti penyetoran sampah. Semua pencatatan dilakukan dengan tangan. Setiap kantong sampah memiliki nasabah atau penabung diberi label agar tidak tertukar dengan nasabah lain. Kemudian kantong sampah itu disimpan dalam bilik penyimpanan sampah sesuai jenisnya. Dan Teller mencatat dan mencocokan lagi semua penyetoran nasabah dalam buku besar yang disebut buku induk.
Menurut petugan Bank Galuh sampah yang telah dibawa nasabah ini dapat terkumpul mencapai 70 kilogram dalam kurun waktu seminggu. Dan sampah ini secara berkala disetor ke tukang barang rongsokan. Mereka biasa disebut pengepul rosok. Merekalah yang nantinya akan menghitung nilai ekonomis setiap sampah yang ditabung nasabah. Jadi petugas bank tidak menentukan berapa nilai sampah nasabahnya. Demikian dijelaskan Galuh. Memang, yang mengetahui nilai sampah adalah pengepul rosok. Mereka yang sehari-hari melakukan jual beli sampah, seperti Nasrulloh. Ia memang harus meluangkan waktu datang ke bank sampah untuk menaksir nilai sampah tiap nasabah. Tapi sebagai pedagang, ia juga diuntungkan dengan adanya bank sampah. Baginya, tidak terlalu susah mencari barang. Tak ada batasan berat sampah yang ditabung nasabah. Sampah yang dikumpulkan lebih dulu harus dipilah. Setiap penabung dapat 3 kantong sampah geratis yang telah diberi nama dan nomor rekening. Kantong 1 untuk sampah plastik, kantong 2 sampah kertas, dan kantong 3 untuk sampah kaleng dan botol. Jadi sebelum ditabung, setiap nasabah diharuskan memilah sampah terlebih dahulu sesuai jenisnya, baik kertas, kaleng dan botol.
Bank Sampah Gemah Ripah dibuka tiga hari dalam seminggu, yaitu hari senin, rabu, dan jum’at pukul 16.00-20.00 WIB. Menurut Ismiyati yang merupakan salah satu nasabah Bank “Gemah Ripah” mengaku senang dapat menjadi nasabah bank sampah. Meskipun pada awalnya ia merasa malu menenteng sampah untuk ditabung. Namun dengan adanya bank sampah dapat meningkatkan kesadaran warga terhadap pengelolaan sampah. Jika dulu warga membuang sampah sembarangan yang dikarenakan kesulitan dalam hal mencari tempat pembuangan resmi, Namun saat ini kita dapat mengatasi dengan menjadi nasabah bank sampah. Awalnya gagasan pendirian bank sampah ini berasal dari Bambang Suwerda, dosen politeknik kesehatan Yogyakarta. Tujuan awal beliau yaitu ingin mengubah pandangan masyarakat tentang sampah, bahwa sampah bisa dimanfaatkan jika dikelola dengan benar. Pengelolaan bank sampah dilakukan secara sukarela. Dan petugas teller bank sampah, yaitu Galuh dan Sita bekerja tanpa digaji.
Saat ini sudah terdapat 10 orang yang bekerja di bank sampah “Gemah Ripah”. Bank sampah memotong dana 15 persen dari nilai sampah yang disetor nasabah. Dana itu digunakan untuk membiayai kegiatan operasional. Berbada dengan bank biasa, nasabah hanya bisa mengambil tabungan tiga bulan sekali. Penggagas bank sampah yaitu Bambang Suwerda menjelaskan bahwa “Dengan pertimbangan supaya nilai nominal dari para penabung terutama sampahnya itu besar rupiahnya, kalau diambil tiap hari itu nanti mungkin lama-lama tidak bersemangat untuk menabung karena rupiahnya sangat kecil. Tapi dengan jangka menengah ini, ternyata bisa mendatangkan income lumayan. “Di dusun Badegan ada sekitar 600 kepala keluarga. Sampai sekarang nasabah bank sampah baru 60 orang. Tapi Bambang Suwerda yakin, jumlah penabung akan bertambah.
Memang kesadaran warga tentang masalah sampah masih rendah. Untuk itu, saat ini penjelasan tentang cara kerja dan gagasan bank sampah dilakukan secara rutin. Untuk menjangkau warga yang tinggalnya jauh, ada sistem pengumpulan komunal. Yaitu dengan teknis petugas bank berkeliling untuk mengambil sampah milik warga dititik-titik yang sudah ditentukan. Namun tidak semua sampah yang ditabung nasabah disetor ketukang rosok. Sebagian diantaranya, yakni jenis plastic sachet dan gabus, diolah menjadi aneka aksesoris rumah tangga , seperti tas, dompet, hingga rompi, atau pot bunga. Barang-barang aksesoris tersebut lalu dijual dengan harga 20 ribu rupiah. Bank Sampah Gemah Ripah milik warga Badegan adalah salah satu alternatif mengajak warga peduli dengan smpah, yang konsepnya mungkin dapat dikembangkan juga diwilayah lain.
Rabu, 16 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar