Dalam falsafah jawa banyak sekali ajaran yang diwasiatkan oleh para orang tua tentang budi pekerti. Falsafah jawa tersebut sebagian berisi ajakan untuk berbuat baik dan sebagian lagi berisi larangan untuk berbuat jahat. Sayangnya di era modern sekarang ini, falsafah-falsafah yang mempunyai nilai yang luhur itu seperti hilang ditelan masa. Wasiat para pujangga yang seharusnya dirawat dan dipelihara luntur oleh budaya import yang sebenarnya belum tentu cocok dengan budaya kita.
Berikut beberapa contoh warisan para leluhur tentang falsafah jawa yang memiliki makna yang sangat mendalam dan jika kita bisa mempraktikannya dalam kehidupan, maka kita akan menjadi manusia yang cerdas, namun tetap menjaga nilai-nilai norma yang ada. Pintar tetapi tetap santun, kaya tetapi tetap lowprofile, pemimpin tapi merakyat, cantik tapi rendah hati dan banyak lagi.
Falsafah Jawa 1 - Aja Dumeh (Ojo Dumeh)
Aja dumeh berarti jangan mentang-mentang, artinya sekali berkuasa dan memiliki wewenang jangan sewenang-wenang menggunakan yang dimiliki. Kekuasaan dan kewenangan yang diperoleh dari yang lebih berwenang harus digunakan demi kepentingan orang banyak dengan memperhatikan kepentingan dan perasaan orang lain. Orang yang biasa sewenang-wenang dalam menggunakan kekuasaan dan kewenangannya, akan dikucilkan dan bahkan dituntut secara hukum jika tidak lagi memegang kekuasaan.
Falsafah Jawa 2 - Ajining diri gumantung kedaling lathi
Makna dari kalimat ajining diri gumantung kedaling lathi adalah penilaian seseorang terhadap manusia tergantung kemampuannya dalam mengolah perkataan. Lathi berarti lidah, kedal berarti gerak, sehingga kedaling lathi berarti gerakan lidah atau dapat di artikan sebagai ucapan yang keluar dari mulut seseorang. Ajining diri berarti nilai keluhuran kepribadian atau martabat. Seorang yang berbudi pekerti luhur selalu menjaga semua kata-kata yang diucapkan agar selalu sopan, teratur, tidak menyakiti orang lain. Penilaian dari orang lain terhadap seseorang akan banyak bergantung pada apa yang diucapkan. Orang selalu berkata sesuai dengan fakta dengan cara yang sopan, tidak menyebabkan orang lain tersinggung akan memiliki martabat yang tinggi di masyarakat, sebaliknya orang yang sering berkata tidak benar akan direndahkan martabatnya.
Falsafah Jawa 3 - Alon-alon waton kelakon / Alon-alon asal kelakon
Alon-alon asal kelakon dalam bahasa Indonesia berarti tidak terburu-buru (ora grusa grusu) yang penting tujuannya tercapai. Analog dengan peribahasa biar lambat asal selamat. Karena sesuatu yang dilakukan dengan tergesa-gesa dapat merugikan orang lain maupun diri sendiri. Lebih baik pelan tapi terencana dengan penuh hati-hati sehingga tujuan dapat tercapai dengan aman dan tidak merugikan diri sandiri maupun orang lain. Yang menjadi fokus bukan kata alon (pelan) tetapi kelakon (tercapainya suatu tujuan) dengan cara yang seksama walaupun waktu untuk mencapainya tidak cepat.
Falsafah Jawa 3 - Bisa rumangsa aja rumangsa bisa (biso rumongso ojo rumongso biso)
Dalam bahasa Indonesia kalimat bisa rumangsa aja rumangsa bisa berarti bisa merasa, jangan merasa bisa. Berarti dalam hidup ini kita harus selalu dapat merasa dan menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam diri kita sehingga masih banyak yang perlu dipelajari. Karena selalu ada orang lain yang lebih mampu. Kita seharusnya mau belajar dari orang lain tersebut agar kita dapat menjadi orang yang arif dan bijaksana. Sebaliknya jika seseorang telah merasa bisa maka ada kecenderungan menganggap bahwa kemampuan orang lain masih dibawahnya dan menganggap segala sesuatu gampang sehingga ada kecenderungan kurang serius menanganinya. Dengan kata lain seseorang yang 'bisa rumongso' akan cenderung rendah hati dan peka diri dengan lingkungan, dengan demikian akan mudah diterima dan dihargai dalam pergaulan. Sebaliknya orang yang 'rumongso bisa' akan cenderung sombong dan sifat sombong akan mendatangkan perasan tidak senang pada orang lain.
Minggu, 04 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar